1.Geographia,Ptolemy
Why it changed the world: It set practical  standards in geography which lasted 1500 years, and is our best record  of the state of geographic knowledge in the 2nd century.
Claudius  Ptolomeus adalah seorang ahli geografi yang semula sering berada di  pelabuhan kota-kota Yunani untuk mendengarkan cerita pelaut-pelaut yang  baru kembali dari pelayaran. Ptolemeus tidak puas hanya mendengar  laporan pelaut di kota-kota pelabuhan Yunani. Ptolomeus ingin sekali  memperoleh cerita-cerita dari pelaut Arab yang kabarnya berlayar sampai  ke negeri yang jauh di bawah angin, atau khatulistiwa. Maka ia mencari  tempat tinggal baru di Iskandariah, Mesir. Laporan tentang Iobadiou itu  didengarnya dari pelaut Arab.
Pada tahun 160, seorang ahh geografi  Yunani bernama Claudius Ptolomeus menulis sebuah buku bernama  Geographia. Dalam buku itu disebutkan bahwa Iabadiou adalah sebuah  negeri yang subur, menghasilkan banyak emas, dan mempunyai bandar niaga  bernama Argyre yang tempatnya di ujung barat negeri itu. lobadiou adalah  Jawa. Sedangkan Argyre adalah bahasa Yunani yang berarti perak.

2.The Canterbury Tales,Geoffrey Chaucer
Why  it changed the world: Popularized the use of vernacular English as the  dominant language in English literature (rather than Latin or French  commonly used at the time) - the Canterbury Tales set the standard for  future works of English literature.
Bagi Anda yang pernah  mempelajari karya-karya sastra Inggris Periode Abad Pertengahan  (1150-1400) pasti mengenal seorang sastrawan terkenal Inggris, Geoffrey  Chaucer (1340 – 1400). Chaucer boleh dibilang penyair terbesar abad  pertengahan. Akhir abad pertengahan adalah milik Chaucer atau sering  disebut The Age of Chaucer (Zaman Chaucer). Chaucer tergolong orang yang  serba bisa. Ia seorang penguasaha, pejabat pemerintah, perantau,  prajurit, ilmuwan, penyair dan lain–lain. Karya terbesar Chaucer adalah  The Canterbury Tales. Karya ini mengisahkan sebuah ziarah imajiner para  biarawan pada 11 April, 1387 menuju Katedral Canterbury untuk  mengunjungi pusara Santo Thomas A. Beckett. Karya ini merupakan suatu  kumpulan 70 sajak naratif, dengan panjang baris dan pokok masalah yang  beraneka ragam. The Canterbury Tales memberikan gambaran realistik  seputar kehidupan masyarakat Inggris. Kumpulan sajak ini kaya akan humor  meskipun terdapat kritik yang ditujukan pada berbagai tokoh, khususnya  para pendeta yang melalaikan tugas-tugasnya dan yang masih mementingkan  kesenangan duniawi. Tak pelak, karya ini menyajikan deskripsi sosial  kehidupan para pendeta, biarawan-biarawati atau tokoh agama yang korup,  serakah dan penipu, alih-alih sebagai model role bagi masyarakat Inggris  yang banyak didera oleh kemiskinan di masa itu.
Banyak tokoh  dalam The Canterbury Tales ini merepresentasikan prilaku dan tabiat yang  berseberangan dengan apa yang secara tradisional diharapkan dari  mereka. Hal ini lantaran Gereja Katolik—yang menguasai Inggris, Irlandia  dan sebagian besar Eropa pada abad ke-14—luar biasa kaya.  Katedral-katedral mewah dibangun nyaris di setiap bandar-bandar besar di  tengah-tengah penduduk yang menderita kepapaan, penyakit dan kelaparan.  Fenomena kontras antara kekayaan gereja dan kemiskinan masyarakat  kentara sekali, ditemukan di mana-mana. Karenanya, tokoh-tokoh dalam The  Canterbury Tales ini digambarkan dengan sifat-sifat yang tamak dan  penipu. Dua di antaranya adalah the Summoner (petugas pengadilan) dalam  The Friar’s Tale (Kisah Rahib) dan Death dalam The Pardoner’s Tale  (Kisah Sang Pengampun). The Summoner adalah seorang pegawai gereja yang  menggiring orang-orang dengan tuduhan melanggar tata aturan gereja  menuju sebuah pengadilan khusus yang dibentuk gereja. Tokoh ini dalam  The Friar’s Tale berwatak penipu dan serakah yang kerap menyalahgunakan  kedudukannya sebagai pegawai gereja yang memeras orang-orang tak  bersalah demi segepok uang. Ia memiliki jaringan mata-mata rahasia yang  selalu memberi laporan padanya. Atas dasar ini, ia mengeluarkan surat  perintah palsu dan memeras uang dari siapapun. Alih-alih menegakkan  keadilan, tindaknnya justru mencerminkan kazaliman. Chaucer menulis  cerita ini sebagai kritikan terhadap kehidupan para pendeta dan biarawan  gereja yang diselubungi ketamakan dan mentalitas korup sepanjang Abad  Pertengahan.
Sementara, dalam The Pardoner’s Tale, segenap  tokohnya berupaya mencari Death (kematian). The Pardoner menyifati Death  in layaknya manusia, manusia yang jahat. Sepanjang abad ke-14 kematian  sesuatu yang lumrah terjadi. Wabah penyakit dinilai sebagai pembunuh  terbesar orang-orang di saat itu. Tak seorang pun yang tahu apa  penyebabnya, sehingga hal ini dianggap misterius atau dicap sebagai  peristiwa ganas. Dalam kisah ini, kematian mengalami personifikasi;  menjadi nama seorang tokoh. Siapapun dalam kisah tersebut yang  mencarinya—sang tokoh yang bernama ‘kematian’ (Death)—bakal menghadapi  dua nasib yang sama-sama malang; mati atau terbunuh satu sama lain  ketika mendekati si kematian ini. Esensi yang hendak diketengahkan oleh  Chaucer lewat kata-kata the Pardoner ini adalah bahwa sifat-sifat bejat,  semisal kekikiran, ketamakan dan korupsi bakal membawa pada kematian.  Tentu the Pardoner sendiri adalah seorang “dasa muka” (baca: munafik)  dan menggenapi seluruh sifat-sifat jahat berkenaan. Pada akhir cerita,  ia mencoba menjual semua barang-barang peninggalan gereja demi  mendapatkan uang. Nyatanya selaku seorang gerejawan, ia setali tiga uang  dengan the Summoner dalam The Friar’s Tale.
Kedua-dua karakter  tersebut di atas—The Summoner dan Death—mewujud sebagai tamsil  pejabat-pejabat gereja yang “memperkosa” peran yang seyogianya mereka  lakoni. Jangankan tampil sebagai pemimpin-pemimpin agama yang berlaku  jujur dan adil, mereka malah bersikap layaknya para pendusta munafik  yang mereka hujat dalam khotbah-khotbah yang mereka ujarkan. Sekali  lagi, penulis—Chaucer—ingin menunjukkan betapa Gereja Katolik telah  bermetamorfosis sebagai institusi keagamaan yang bakhil dan korup.  Poinnya tetap tak berubah, bahwa “radix malorum est cupiditas”(ketamakan  adalah akar dari segala kejahatan).
Demikianlah ironinya  kehidupan para biarawan yang semestinya menjadi panutan publik.  Kehidupan para biarawan tidak meneladankan kesederhanaan, malah  menikmati kehidupan material. Mereka rata-rata berbadan gemuk karena  selalu makan enak. Mereka mengenakan pakaian yang mentereng; jubah  dengan bulu mahal lengkap dengan dekorasinya. Belum lagi kebiasaan  mereka yang acap berburu binatang ketimbang belajar kitab suci. Mereka  berlaku lembut pada kuda-kudanya maupun anjing-anjing untuk berburu.  Mereka berteman dengan para pemburu. Parahnya para biarawan ini masih  punya nyali mengkhotbahkan bahwa kegiatan berburu dinilai tidak suci  (unholy). Mereka menggunakan dana gereja buat kepentingan pribadi;  membangun rumah yang besar dan kandang kuda serta membeli  pakaian-pakaian mewah maupun perhiasan yang mahal.
Gaya hidup  kalangan biarawan ini dengan telanjang menyembah sikap ingin memuaskan  diri sendiri (self-indulgence). Mereka membuang ajaran-ajaran lama dan  kaku lantaran tergiur dengan bujukan dunia bendawi. Secara ekstrem,  mereka sepenuhnya mengabaikan ajaran-ajaran guru mereka, di antaranya  Santo Benet dan Santo Maur.
Pada hemat Chaucer, kebejatan akhlak  yang dipertontonkan oleh kalangan dalam gereja ini telah menodai janji  doktrinal yang harus mereka patuhi sebagai para pemuka agama. Sungguhpun  Chaucer tidak secara langsung menyatakannya, tapi secara gampang hal  ini bisa terbaca dalam karya tersebut. 
Biarawan dan biarawati  seharusnya hidup dalam kesederhanaan dan tak punya hasrat kepada harta  duniawi. Namun, para biarawan bergiat memiliki dan sibuk mengurus  anjing-anjing kecil yang sebenarnya terlarang di lingkungan gereja.  Dengan memelihara anjing, mereka telah melanggar aturan gereja yang  dikenal sebagai “vow of poverty” (janji kepapaan). Namun hal yang paling  mencolok adalah tatkala kalangan biarawan ini mempunyai broach yang  terbuat dari emas. Kepemilikan benda ini menjustifikasi bahwa hakikatnya  mereka mewakili kehidupan kalangan atas. Maka, sulit dipungkiri betapa  hal ini mendorong pembaca percaya bahwa para biarawan ini memang tidak  lagi mendarmabaktikan hidup dan kebaktiannya pada gereja. 
Akan  halnya dengan biarawati, Chaucer menghabiskan banyak waktu untuk  menerangkan betapa kuatnya obsesi mereka pada etika seksual, yang  ternyata memberikan kesan bahwa para biawawati lebih cocok menjadi para  wanita yang dicintai dibandingkan menjadi biarawati. Pada zaman Chaucer,  wanita menggunakan cara cara-cara tertentu untuk memikat dan memelihara  kekasih mereka. Ini mengindikasikan bahwa para biarawati sama sekali  tidak komit pada “vow of chastity” (janji kesuciaan) yang menjadi  pakaian spiritual mereka. Mereka tampaknya juga wanita-wanita yang punya  hasrat seksual dengan laki-laki manapun (women of promiscuity).
Lebih  lanjut, para biarawati tersebut makin menabrak aturan-aturan gereja  lainnya, yakni “vow of obedience” (janji ketaatan). Sudah menjadi  keniscayaan bahwa seorang biarawati adalah pelayan Tuhan yang harus  berdoa, belajar, berbakti pada-Nya dan menjalani hidup yang terbatas  serta bebas dari godaan. Kenyataannya, bukan saja mereka telah menabrak  janji-janji lainnya tapi mereka juga tidak berdoa pada Tuhan setiap  hari. Mereka tidak bertindak di atas aturan Tuhan lantaran mereka  bekerja lebih sebagai individual daripada selaku para pelayan Tuhan.  Oleh karena itu, Chaucer akhirnya hendak berwasiat kepada pembaca bahwa  kita seharusnya tidak boleh menilai seseorang lewat penampilan luarnya  saja. Perbedaan dalam karakter luar para peziarah dalam kisah The  Canterbury Tales ini seringkali berbeda dibandingkan kepribadian yang  tampak sepanjang kisah ini.

3.Lady Chatterley’s Lover,D H Lawrence
Why it changed the world: It brought the concept of book censorship to a head and eventually helped to overturn it.
Lady  Chatterley� Lover adalah roman sastra terkenal yang kini telah menjadi  karya klasik dalam khazanah sastra dunia. Novel karya penulis Inggris  D.H. Lawrence ini terbit pertama kalinya pada tahun 1928. Sadar bahwa  novelnya tak mungkin diterbitkan di Inggris, maka Lawrence  menerbitkannya sendiri di Florence, Italia. Novel ini menuai kontroversi  karena deskripisi persetubuhan antara dua orang yang berbeda strata  sosial begitu kentara dan bertaburan disepanjang novelnya. Hal yang saat  itu masih dianggap tabu untuk diungkap secara eksplisit dalam sebuah  karya sastra. 
Beberapa pedagang buku di Inggris menolak novel  ini dijual di toko-toko mereka. Sementara itu buku yang dikirimkan  kepada para pemesan di AS sering disita oleh pihak otoritas bea cukai.  Bahkan Presiden Eisenhower menganggapnya sebagai bacaan �dreadful�.
Berbagai  pelarangan justru semakin membuat novel ini laris manis. Di Eropa  sendiri novel itu laku keras. Namun karena novel ini dianggap sebagai  bacaan tidak senonoh dan sesuai dengan UU yang berlaku saat itu bahwa  buku-buku yang dianggap tidak senonoh tidak akan dilindungi oleh UU hak  cipta internasional, maka para pembajak dengan bebas mencuri teks novel  ini dan mencetak ulang dengan harga yang lebih murah. Untuk melawan para  pembajak Lawrence terpaksa menerbitkan edisi murah dalam bahasa  Perancis. 
Lawrence juga pernah ditawari oleh penerbit Inggris  untuk membuat edisi baru dengan menghilangkan bagian-bagian yang menurut  mereka tidak pantas. Untuk itu Lawrence ditawari imbalan yang besar.  Tentu saja Lawrence menolaknya karena menurutnya dengan menghilangkan  bagian-bagian yang dianggap tidak pantas malah akan membuat karyanya  hancur.
Penerbit buku bergengsi di London, Penguin Books Limited,  akhirnya menerbitkan novel itu secara utuh pada tahun 1960. Karena itu,  penerbit tersebut diadili di Pengadilan Old Bailey, London. Sejumlah  saksi memberikan pandangan yang mendukung novel ini. Akhirnya pengadilan  secara resmi menilai dan memutuskan bahwa The Lady Chaterley�s bukanlah  karya pornografis. Penguin pun memenangi perkara dan buku tersebut  secara utuh boleh beredar di Inggris. Semenjak itu novel ini dapat  didistribusikan dan diterbitkan dengan bebas di berbagai negara tanpa  khawatir dicap sebagai bacaan porno. Dan kini Berbagai kajian sastrawi  dilakukan terhadap novel yang menarik perhatian pembaca popular dan juga  mahasiswa sastra di berbagai belahan dunia.
Novel ini sendiri  mengisahkan kisah cinta terlarang antara Connie dengan Olivers Mellors.  Lady Chatterley adalah gelar yang diberikan pada Connie setelah ia  menikah Cliiford Chatterley. Connie sendiri berasal dari keluarga kaya  yang dibesarkan dalam pendidikan dan pergaulan modern keluarga Inggris  pada saat itu. Sedangkan Clifford lahir dari keluarga bangsawan pemilik  tambang batu bara di Travershall � Inggris. Ia mengenyam pendidikan  tinggi hingga ke Cambridge dan berdinas sebagai tentara saat PD I  meletus. Malang nya setelah perang usai Clifford harus pulang dalam  keadaan lumpuh. Dan mulailah Clifford menjalani hari-harinya bersama  Connie di rumah besarnya di Wragby di sebagai seorang penulis. 
Pasca  kelumpuhannya Cliford menjadi pribadi yang terluka. Ia harus terus  berada diatas kursi roda mekanis yang bisa bergerak sendiri dengan  menekan tombol-tombolnya. Clifford senantiasa sendirian. Ia seperti  orang yang tersesat. Ia butuh Connie disampingnya untuk meyakinkan kalau  dia tetap ada. Walau mereka selalu berdekatan, tubuh mereka menjadi  asing satu sama lain. Mereka begitu intim, namun sama sekali tidak  pernah bersentuhan. Connie merasa ia tak mendapatkan kehangatan dari  suaminya.
Setelah dua tahun di Wragby dan menjalani hidup  pengabdian pada suaminya, Connie merasa hidupnya bersama Clifford  tidaklah bahagia. Walau hidup berkecukupan dan menikah dengan seorang  bangsawan, ia tetap tidak bahagia dan merasa belum mendapat pemenuhan  dalam hidup. Connie tahu bahwa dirinya akan hancur. Ia telah kehilangan  dunia dan vitalitas masa mudanya yang pernah dia nikmati sebelum dia  menikah. 
Keterasingan, kesepian, bosan, hampa, dan perasaan  tertindas oleh sikap patriakhi suaminya membuat dirinya tak bergairah  dan mengalami kegelisahan yang semakin hari semakin memuncak. Ketika  gelisah datang, ia berlari melintasi taman dan meninggalkan Clifford.  Lari dari semua orang menuju hutan, tempat ia bisa melupakan semua  kegelisahannya. 
Dalam hutan itulah Connie bertemu dengan Oliver  Mellors si penjaga hutan yang merupakan pegawai Clifford. Berawal dari  ketika Connie ditugasi oleh Clifford untuk mengirimkan pesan pada  Mellors akhirnya mereka kerap bertemu. Walau awalnya keduanya tak saling  suka namun perasaan kesepian yang sama-sama mereka alami membuat mereka  lambat laun saling mencintai dan membutuhkan. Bersama si penjaga hutan  itulah akhirnya Connie menemukan kehangatan dan keteduhan batinnya.
Connie  terperangkah di antara dua pria. Pada Clifford ia tetap melaksanakan  kewajibannya sebagai istri, namun ia juga tetap menjalin hubungan  cintanya dengan Mellors di hutan. Hubungan mereka berlanjut dengan  aktifitas seks di pondok di tengah hutan di tempat kediaman Mellors  hingga akhirnya Connie hamil. Bisa dibayangkan bagaimana sikap Clifford  jika kelak mengetahui bahwa dirinya hamil karena perselingkuhannya  dengan lelaki kelas bawah yang notabene pegawainya sendiri. Namun Connie  tidak takut, ia memang menghendaki anak dan kehamilannya ini  dijadikannya alasan bagi dirinya untuk meminta cerai dari Clifford.  Clifford terguncang, namun ia menampik keinginan istrinya untuk bercerai  dan menawarkan sebuah solusi yang dianggapnya terbaik.
Ada  banyak hal yang menarik dari novel ini. Seperti yang menjadi kontroversi  sejak novel ini diterbitkan, novel ini memang memiliki banyak deksrpisi  erotis. Walau D.H. Lawrence membungkusnya dalam balutan kalimat-kalimat  sastrawi namun tetap saja pembaca akan terbakar oleh deskripsi  persetubuhan Connie dan Mellors. Namun tentunya bukan maksud penulisnya  hanya untuk sekedar menghadirkan kisah erotis tanpa makna. 
Persetubuhan  antara Connie dan Mellors bukan hanya sekedar pemuasan nafsu mereka  semata, tetapi sebagai perwujudan kelegaan atas pribadi-pribadi yang  terkukung. Hubungan seks diantara mereka melahirkan ketenangan sejati  bagi Connie. Jadi tujuan seks dalam novel ini lebih pada penyembuhan dan  bukan sekedar pemuasan nafsu. Walau seks yang mereka lakukan adalah hal  yang terlarang namun seks membawa kelahiran kembali Connie dan Mellors  untuk bisa membuka diri dan menapak kehidupan baru mereka.
Karakter-karakter  yang dihidupkan oleh D.H. Lawrence dalam novel ini sangatlah menarik.  Walau merupakan roman percintaan namun novel ini bukanlah novel yang  mendayu-dayu dan cengeng. Hampir semua tokoh dalam novel ini  mentransformasikan dirinya dari pribadi yang rapuh menjadi pribadi yang  kuat dan melawan. Clifford, Connie, dan Mellors awalnya merupakan  pribadi-pribadi yang tertutup, tersisih, dan kesepian, namun berbagai  peristiwa telah merubahnya menjadi pribadi yang kuat dan penuh  perlawanan. Contohnya adalah perlawanan terhadap tradisi dan pendobrakan  sekat-sekat kelas yang dilakukan secara simbolis oleh perselingkuhan  Connie danMellors.
Selain itu melalui novel ini kita juga dapat  menangkap kritik sosial terhadap muramnya kehidupan di Inggris setelah  perang di tahun 1920-an. Masyarakat terjebak ke dalam lapisan-lapisan  kelas, industrialisasi mulai merasuk, dan uang menjadi senjata ampuh  untuk pencapaian kekuasaan. Melalui tokoh Clifford, seorang berdarah  biru dan tuan tanah pemilik tambang akan terungkap bagaimana sikap para  bangsawan terhadap para pekerja tambang yang bagi mereka bukan lagi  manusia seutuhnya melainkan hanya sekedar alat produksi untuk mengeruk  keuntungan bagi usaha mereka. 
Jadi novel ini bukanlah sekedar  novel erotis semata seperti yang mungkin selama ini menjadi pendapat  umum atas karya terkenal D.H. Lawrence ini . Ada banyak hal yang bisa  dimaknai dalam kisah cinta Lady Chaterly. Michael Squares, editor  Penguin Books menulis dalam kata pengantarnya bahwa Lawrence berusaha  membangunkan dan mengarahkan rasa simpati para pembaca tanpa membuat  novel ini menjadi sebuah kebosanan. 
Salah satu yang ingin  disampaikan oleh Lawrence dalam novel ini adalah upaya menyadarkan  masyarakat atas dirinya sendiri, mempertanyakan berbagai asumsi yang  telah mengakar dan membangkitkan sebuah kejujuran dan keberanian yang  menantang. Karena itulah tampaknya karya yang telah berusia lebih dari  75 tahun ini masih relevan untuk terus dibaca dan dimaknai.
Bersyukur  kini karya klasik ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.  Dibanding edisi aslinya, novel terjemahannya ini tampak lebih gemuk  karena penerbit memasukkan berbagai artikel tambahan baik di awal maupun  akhir novel ini. Di bagian awal, pembaca akan disuguhkan dengan 4 buah  artikel berupa Catatan untuk edisi Penguin, Kata Pengantar, dan Catatan  Panjang dari Penulis yang menghabisi sekitar seratus halaman sebelum  kita masuk dalam novelnya sendiri. Sedangkan di akhir novel masih ada  tambahan berupa Riwayat Panjang D.H. Lawrence, dan Apendiks sebanyak 23  halaman.
Bagi para pemerhati sastra, artikel-artikel tambahan itu  tentunya sangat bermanfaat, namun bagi pembaca awam mungkin menjadi tak  terlalu bermanfat karena membaca artikel-artikel tersebut ternyata  cukup melelahkan. Novel ini dicetak diatas kertas yang bagus sehingga  terkesan mewah, nyaman dibaca, dan layak dikoleksi, namun konsekuensinya  harga buku ini menjadi relatif mahal yang tentunya membuat calon  pembeli berpikir ulang untuk membeli novel seharga 99 ribu ini.
Beberapa  kesalahan cetak juga ditemui di novel ini. Dari segi terjemahan bisa  dibilang baik, walau ada beberapa frasa yang saya anggap janggal namun  tak sampai mengurangi kenikmatan saya membaca novel ini. Ada satu hal  yang tidak konsisten dalam terjemahannya. Di cover belakang novel ini  disebutkan Connie berselingkuh dengan penjaga kebun/tukang kebun,  sementara di seluruh bagian novel ini, profesi Oliver Mellors tidak  disebut sebagai tukang kebun melainkan penjaga hutan.

4.The Republic,Plato
Why  it changed the world: Plato’s contrast between the imperfect world of  mortals and the perfect forms of immortal souls had a great deal of  influence over Christianity and Islam and Western philosophy in general.
Salah  satu karya monumental Plato adalah The Republic, yang dalam bahasa  Yunani artinya “sistem politik.” Karya ini ditulis kira-kira pada 380  SM, dan dipandang sebagai salah satu karya filsafat dan teori politik  yang paling berpengaruh. Ini juga merupakan karya Plato yang paling  terkenal.
Plato menghasilkan sejumlah karya, yang berkaitan dengan  filsafat politik, seperti Republic, Statesman, dan Laws. Namun, Republic  adalah pusat dari filsafat politik Plato. Karena, karya-karya Plato  yang lain --seperti Apology, Charmides, Crito, Euthydemus, Gorgias,  Protagoras, dan Menexenus—bisa dipahami dengan melihat hubungannya pada  teks utama di Republic.
Makalah ini mencoba mengangkat sejumlah  pemikiran Plato di bidang politik. Untuk menyederhanakan dan memudahkan  pembahasan, pemikiran Plato yang diulas di sini dibatasi pada  topik-topik tertentu. Pemikiran Plato itu akan dianalisis dengan  membandingkannya pada pemikiran tokoh-tokoh lain, serta coba ditempatkan  dalam konteks masa kini. 
Dalam membahas pemikiran Plato,  penulis menggunakan pendekatan filsafat politik. Filsafat politk pada  hakikatnya menuntut agar segala klaim (legitimate authority) atas hak  untuk menata masyaraksat (yang dimiliki oleh Pemerintah Negara) dapat  dipertanggungjawabkan di hadapan akal dan hati kemanusiaan.  Pertanggungjawaban publik (accountability) mrerupakan perwujudan dari  tanggung jawab rasional atas kekuasaan. 
Legitimasi politik di  sini tidak selalu sama dengan legitimasi moral (etis-filosofis).  Legitimasi politik dapat dipahami sebagai legitimasi sosial (sosiologis)  yang telah mengalami proses artikulatif dalam institusi-institusi  politik yang representatif. Sedangkan legitimasi moral (etis)  mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi  norma-normal moral, bukan dari segi kekuatan politik riil yang ada, dan  bukan pula atas dasar ketentuan hukum (legalitas) tertentu.

5.On Liberty,John Stewart Mill
Why  it changed the world: Most of Mill’s theories are now full integrated  into modern democracies - particularly the need to protect the rights of  the individual.

6.The Histories,Herodotus
Why  it changed the world: They are the source of much of our knowledge of  the ancient world and the foundation of history in Western literature.

7.Canon Of Medicine,Avicenna
Why  it changed the world: It brought together the knowledge and theories of  Ancient Greek, Persian, and Indian medicine (largely forgotten  otherwise) and combined it with contemporary 11th century understanding.  It laid the foundations of modern medical science.

8.The Interpretation Of Dreams,Sigmund Freud
Why  it changed the world: While many of Freud’s theories have now been  dismissed by modern specialists, his concept that the unconscious  retains much that the conscious mind appears to have forgotten has  changed and influenced the way that people think about themselves.

9.The Analects,Confucius
Why  it changed the world: A truly radical text in its time, the Analects  have been the dominant influence on Chinese thought and culture.

10.Principia Mathematica,Isaac Newton
Why it changed the world: Newton’s Principia, published in 1687, laid the foundation for much of modern physics and mathematics.

sumber : http://bughisy-anda.blogspot.com/2009/03/top-10-buku-buku-yg-mampu-mengubah.html

 
 Postingan
Postingan
 
 
 
 
 


0 komentar:
Posting Komentar